Bintang dan Segala Sunyi yang Dipeluknya
Bintang. Jika mendengar kata "bintang", seketika terlintas di benak kita—langit malam yang cantik nan indah, dihiasi oleh bintang-bintang yang terang-benderang. Namun, kali ini berbeda. Ini bukan bintang-bintang yang bertaburan di langit malam... ia hidup, dan bernapas. Ia butuh makan, butuh minum... dan satu hal yang tak boleh dilupakan... ia butuh kasih sayang.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya... Bintang berharap ini semua akan segera berakhir. Ditemani angin malam yang menghembus pelan, Bintang duduk terpaku di antara banyaknya insan yang membuatnya tak nyaman. Ia duduk terpaku. Raut wajahnya canggung. Gerak-geriknya kaku. Dinginnya malam kala itu... seolah mengerti pula suasana yang terjadi pada saat itu—dingin. Dingin sekali. Terlebih bagi seorang Bintang... yang tak terbiasa berada di keramaian yang penuh suara.
Di malam yang dingin itu, mulailah salah seorang sepupu memecahkan keheningan yang telah terjadi cukup lama. Ia membuka topik obrolan mengenai kisah percintaannya—yang dilanjut oleh sepupu lain.
Seketika Bintang bersyukur.
Setidaknya... tak ada lagi yang memperhatikannya.
Ia menghela napas lega...
"Akhirnya... suasana ini berubah juga", ucapnya dalam hati.
Obrolan demi obrolan mengalir... bagai mata air yang mengalir dari gunung, tanpa tahu ke mana akan bermuara. Hingga pada akhirnya... terlontarlah pertanyaan kepada Kakak—yang supel nan ceria itu,
"Kalau kamu, pernah ada yang deketin, nggak? Ceritain, dong!"
Saat itu, Kakak masih memendam ragu pada orang-orang yang belum sepenuhnya ia percaya... Namun, sebuah suara muncul... menenangkan hati yang sempat risau...
"Nggak apa-apa, cerita aja. Kita bakal simpen baik-baik, kok. Selama ini juga, kita sering cerita bertiga, dan nggak pernah ada seorang pun yang tahu."
Mendengar itu... tumbuhlah kepercayaan Kakak—dan ia pun mulai bercerita.
Kata demi kata... terlontar dari bibir Kakak. Dengan sangat ringan. Dengan sangat lepas. Bahkan, kata-kata yang Bintang rasa tabu untuk diucapkan... dapat kakaknya ucapkan dengan sangat mudah. Tanpa hambatan apapun.
Bintang pun mendengarkan setiap obrolan yang berlangsung di hadapannya... Ia perhatikan cara mereka berbicara, cara mereka tertawa—hingga cara mereka mempertahankan obrolan agar tetap berjalan.
Di tengah-tengah dinginnya hembusan angin malam, Bintang masih menikmati momen obrolan hangat itu. Tetapi... ada yang berbeda. Mereka bukan lagi bertiga. Kini... mereka berempat. Dan Bintang rasa, ia bukan bagian dari angka itu. Sadar akan hal itu... seketika dadanya terasa sesak. Seperti ada suara yang ingin keluar... tapi tenggelam di kerongkongan.
Dalam diam... pandangannya mulai berkaca. Terlintas di benaknya,
"Kenapa... aku nggak bisa seperti mereka?"
Tetapi, Bintang langsung menepis pikiran itu, dan segera beralih untuk kembali menikmati momen yang ada. Namun, pikirannya terus berkata,
"Kenapa... aku nggak bisa seperti mereka?"
Sebuah pertanyaan—yang sedari dulu ia sendiri tak dapat menjawabnya.
Kata demi kata... Bintang dengarkan dengan saksama. Cerita demi cerita... ia simak dengan penuh perhatian. Tetapi entah mengapa, dadanya terasa semakin sesak. Bukan. Bukannya ia tidak senang melihat orang terdekatnya—kakaknya—bahagia. Hanya saja, diantara banyaknya manusia... mengapa ia masih saja merasa hampa?
Namun, ia tidak peduli. Ia memilih untuk tidak menghiraukan perasaan-perasaan itu, dan terus mencoba untuk tetap menikmati momen yang ada. Walau seringkali... perasaan hampa menghampiri. Tanpa permisi.
Setiap masa ada momennya, setiap momen ada masanya. Hingga pada akhirnya... tibalah masa yang paling ditunggu-tunggu oleh Bintang—masa ketika momen obrolan hangat tersebut sudah berakhir. Karena baginya, berakhirnya masa itu, berakhir pula rasa kesepian yang ia rasakan—sendirian.
Perasaannya saat itu sudah tidak bisa dijelaskan lagi. Senang? Iya. Lega? Itu sudah pasti. Bintang berlari kecil menuju mobilnya sembari bersenandung bahagia,
"Lalalalala... Akhirnya aku pulang..."
Ya. Pulang. Itulah hal yang selalu ditunggu-tunggu oleh Bintang setelah seharian berada di keramaian. Karena baginya... itu amat melelahkan. Selain menguras energi—juga emosi.
Sebelum memasuki mobil, Bintang berpamitan terlebih dahulu dengan sepupu-sepupunya. Setelah itu, ia pun masuk ke dalam mobil—menutup pintu rapat-rapat. Ia membuka jendela, lalu melambaikan tangan ke arah sepupu-sepupunya. Dari ujung sana, terlihat pula lambaian tangan dari para sepupunya. Namun sayangnya... lambaian tangan itu bukan untuknya—tapi untuk kakaknya.
"Sampai ketemu lagi tahun depan, ya! Jangan lupa lanjutin ceritanya—penasaran banget, nih, sama kelanjutannya!"
Melihat itu... Bintang hanya tersenyum lirih... menghela napas berat... menyimpan lukanya dalam diam. Rasanya... ia ingin sekali berteriak pada semesta. Mengadu atas segala rasa yang ia simpan—sendirian. Namun sayangnya, semesta justru memilih bungkam—seolah lelah mendengar keluhnya. Sembari menutup jendela... dengan senyuman yang perlahan memudar... ia berucap dalam diam...
"Apakah aku seburuk itu?"
Di malam yang dingin itu... diselimuti pula oleh dinginnya angin yang menghembus pelan dari AC mobil... terlihat seorang gadis yang sedang menyandarkan kepalanya ke jendela mobil. Ya... itu Bintang—seorang gadis yang baru saja memperoleh goresan kecil di hatinya. Yang kini... goresan kecil itu ia simpan sendirian—di relung hatinya. Rapat-rapat... Tanpa seorangpun tahu.
Malam itu... di dunia yang penuh gemerlap semu... Bintang memilih untuk beristirahat sejenak dari bisingnya dunia. Ia menyandarkan kepalanya... memusatkan pandangannya ke atas... membiarkan dirinya terhanyut dalam indah dan cantiknya langit malam... dihiasi oleh bintang-bintang yang terang-benderang.
Waktu demi waktu berlalu... dan Bintang masih di situ. Masih terhanyut dalam indah dan cantiknya pemandangan langit malam. Namun, ada satu hal yang berbeda... Kini, sebuah bulir bening membasahi pipinya—tidak... kini ia tidak lagi terhanyut dalam indahnya langit malam... tetapi... ia sudah terhanyut dalam lautan pikirannya sendiri.
Bintang menghela napas berat...
"Kenapa... aku nggak bisa seperti mereka? Kenapa... aku berbeda? Kenapa... kakak lebih baik?"
Terdengar isak tangis Bintang... tetapi, ia langsung menepisnya, menepuk pipinya pelan, sembari berkata,
"Udah, jangan nangis, nanti ketahuan!"
Seketika Bintang pun berhenti menangis... meski dadanya terasa amat sesak.
Bintang pun berusaha kembali menikmati indahnya langit malam... Namun, pikiran-pikiran itu terus-menerus menghantuinya—seperti ombak yang terus menerjang meski pantai ingin tenang.
"Kenapa, ya... selama ini nggak ada yang benar-benar dengar isi hatiku...? Kenapa semua yang aku simpan... nggak pernah ada yang tanya? Kenapa setiap kali aku ngerasa sesak... aku malah lari ke ruang sunyi yang bahkan nggak punya suara? Kenapa nggak ada yang sadar... kalau aku sering cerita ke tempat yang nggak bisa nyentuh, cuma bisa jawab dengan kata-kata yang bahkan nggak pernah hidup?! Kenapa cerita-cerita yang penuh sesak itu... cuma bisa aku bagi ke layar tak bernyawa?! Kenapa perasaan yang kupendam lama... orang yang kusebut diam-diam... semuanya cuma aku yang tahu? Kenapa nggak ada yang nanya... aku ingin jadi apa?! Kenapa nggak ada yang peduli kenapa aku ingin milih jalan itu...? Kenapa...? Ke... kenapa...?!"
Sebuah bulir bening pun mengalir kembali di pipi Bintang... Namun, untuk meredam tangisnya, Bintang berkata pada dirinya sendiri,
"Emang... kenapa kalau selama ini nggak ada yang benar-benar dengar isi hatiku? Emang kenapa kalau semua yang aku simpan... nggak pernah ada yang tanya? Emang kenapa kalau nggak ada yang sadar... kalau aku sering cerita ke layar yang tak bernyawa? Emang kenapa kalau selama ini... isi hatiku cuma bisa kutitipkan pada suara yang tak punya wajah? Emang kenapa kalau perasaan yang kupendam lama... orang yang kusebut diam-diam... semuanya cuma aku yang tahu? Emang kenapa... kalau nggak ada yang nanya, aku ingin jadi apa? Emang kenapa... kalau nggak ada yang peduli kenapa aku ingin milih jalan itu? Emang... kenapa? Emang... kenapa, sih...?!"
Namun malang, bulir bening itu justru jatuh semakin deras dari mata indahnya—mata yang kini kehilangan cahayanya. Kala itu, ditemani oleh angin malam yang menghembus pelan, Bintang menangis tanpa suara... melepaskan sesak yang tak pernah sempat ia bagi.
Di tengah-tengah isak tangis Bintang... tiba-tiba, indra pendengarannya menangkap sebuah suara—yang bersumber dari luar mobil.
"Loh... Bintang mana?"
Bintang mengenal suara itu. Ya, itu suara Budenya. Mendengar itu, entah mengapa pikirannya berkelana lagi... membayangkan jika Budenya membawanya keluar dari mobil kelam dan suasana yang menyesakkan itu... lalu mengajaknya berkumpul bersama sepupu-sepupu lain, juga orang tuanya. Lalu, salah seorang diantara mereka bertanya...
"Bintang, kamu... ingin masuk jurusan apa nanti?"
Lalu, dengan mata berbinar-binar dan senyuman yang mengembang... ia menjawab,
"Psikologi... itu jurusan impianku!"
Di sana... terlihat jelas tatapan orang tuanya yang juga berbinar-binar, dengan senyuman tulus yang terbit di wajah mereka.
"Psikologi, ya, Bin?"
Suara Mama terdengar lembut... diselingi senyuman yang mengembang pelan.
"Bagus sekali pilihanmu, nak... kenapa nggak bilang dari dulu? Mama akan selalu dukung, apa pun jalan yang kamu pilih."
Papa pun menoleh... sorot matanya teduh, penuh kehangatan yang tak sering Bintang lihat.
"Iya, Bintang... kenapa harus dipendam sendiri? Itu jurusan yang indah... Papa percaya, kamu akan melangkah sejauh yang kamu mau. Papa juga dukung, sepenuhnya."
Bintang pun tersadar dari lamunannya. Skenario-skenario yang terasa sangat nyata—yang berlalu-lalang tanpa permisi itu—lagi-lagi sukses membuat tangisnya pecah. Satu persatu, bulir bening itu jatuh perlahan... membawa beban yang tak mampu ia ucap. Di malam yang dingin itu... Bintang menangis untuk kesekian kalinya. Ditemani oleh angin malam yang menghembus pelan... juga langit malam yang kini berubah menjadi kelam—mewakili perasaan sang gadis yang kini remuk... dalam sunyi yang menyesakkan.
Di atas sana... ada langit malam... juga bintang-bintang bertaburan yang melihat Bintang dari kejauhan—tidak pernah pergi, selalu setia menemani tanpa pernah menghakimi. Di antara gemerlap bintang-bintang itu... tampak satu cahaya paling terang—cahaya milik salah satu bintang paling terang di malam kala itu. Ia memperhatikan seorang gadis yang sedang bersandar di balik jendela mobil... tenggelam dalam tangis yang tak bersuara. Ia hanya tersenyum kecil... seolah berkata,
"Tak apa, Bintang... dunia mungkin belum tahu caramu bersinar, tapi aku tahu... aku melihatmu... setiap luka yang kau pendam, setiap air mata yang tak sempat jatuh... aku melihat semuanya, Bintang... Meskipun begitu... aku yakin, dan aku percaya... suatu hari nanti... kamu pun akan bersinar... menemukan cahayamu sendiri."
Dan malam yang dingin itu pun... tetap berjalan... membawa gadis itu dalam peluk keheningannya. Sementara di atas sana... satu bintang tak berhenti berkedip. Ia memilih berjaga... untuk hati yang tak pernah benar-benar tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar